Selasa, 14 Mei 2013

SURAT SEORANG IBU KEPADA ANAK NYA

SURAT SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA

Surat ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.
Setiap kali menulis, setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh tangis. Dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini terluka.
Wahai anakku…
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu, dan telah engkau robek pula perasaannya.
Wahai anakku…
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku.
Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku, dan semua ibu sangat mengerti arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini, sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi ibu.
Semenjak kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur, berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi, itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah. Bersamaan dengan itu, aku begitu gembira tatkala merasakan dan melihat terjalan kakimu, atau balikan badanmu di perutku.
Aku merasa puas, setiap aku menimbang diriku, karena bila semakin hari semakin berat perutku, berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di dalam rahimku.
Anakku…
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam itu, yang aku tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang tidak tertahankan, dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata kebahagiaanku dengan air mata tangismu.
Ketika engkau lahir, menetes air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah, dengan bertambah kuatnya sakit.
Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.
Wahai anakku…
Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dengan hatiku, memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Sari pati hidupku, kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku selalu melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat, adalah setiap permintaanmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku.
Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti… menjadi pekerjamu yang tidak pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu, wahai anakku…
Tatkala itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari pasangan hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula hari kepergianmu.
Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka. Tangis telah bercampur pula dengan tawa.
Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan… karena engkau telah mendapatkan jodoh… karena engkau telah mendapatkan pendamping hidup… Sedangkan sedih karena engkau adalah pelipur hatiku, yang akan berpisah sebentar lagi dari diriku.
Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.
Senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam, seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran, aku benar-benar tidak mengenalmu lagi, karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat rupamu. Detik demi detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku seakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa engkau yang akan menelponku. Setiap suara kendaraan yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia, dan harapanku hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa hanya kesedihan dari semua keletihan yang selama ini ku rasakan, sambil menangisi diri dan nasib yang memang ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku…
Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan.
Yang ibu pinta kepadamu:
Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.
Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan dengan ibumu.
Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandang wajahmu.
Yang ibu tagih kepadamu:
Jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana, sekalipun hanya sedetik.
Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi. Atau sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku…
Telah bungkuk pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku telah dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya seharusnya telah dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…
Akan tetapi, yang tidak pernah sirna -wahai anakku- adalah cintaku kepadamu… masih seperti dulu… masih seperti lautan yang tidak pernah kering… masih seperti angin yang tidak pernah berhenti…
Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikan dengan kebaikan, sedangkan ibumu, mana balas budimu, mana balasan baikmu?! bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air serupa?! bukan sebaliknya air susu dibalas dengan air tuba?! Dan bukankah Alloh ta’ala, telah berfirman:
هل جزاء الإحسان إلا الإحسان
Bukankah balasan kebaikan, melainkan kebaikan yang serupa?!
Sampai begitukah keras hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu.
Wahai anakku…
Setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak?! Karena engkau adalah buah dari kedua tanganku… Engkau adalah hasil dari keletihanku… Engkaulah laba dari semua usahaku…
Dosa apakah yang telah ku perbuat, sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!
Pernahkah suatu hari aku salah dalam bergaul denganmu?!
Atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?!
Tidak dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang terhina dari sekian banyak pembantu-pembantumu yang mereka semua telah engkau beri upah?!
Tidak dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu?!
Dapatkah engkau sekarang menganugerahkan sedikit kasih sayang demi mengobati derita orang tua yang malang ini?!
إن الله يحب المحسنين
Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berbuat baik.
Wahai anakku…
Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.
Wahai anakku…
Hatiku terasa teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan, bahwa engkau adalah laki-laki yang supel, dermawan dan berbudi.
Wahai anakku…
Apakah hatimu tidak tersentuh, terhadap seorang wanita tua yang lemah, binasa dimakan oleh rindu berselimutkan kesedihan, dan berpakaian kedukaan?!
Mengapa? Tahukah engkau itu?! Karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya… Karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya… Karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… Karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim.
Wahai anakku…
Ibumu inilah sebenarnya pintu surga, maka titilah jembatan itu menujunya… Lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, kemaafan, dan balas budi yang baik… Semoga aku bertemu denganmu di sana, dengan kasih sayang Alloh ta’ala sebagaimana di dalam hadits:
الوالد أوسط أبواب الجنة فإن شئت فأضع ذلك الباب أو احفظه
Orang tua adalah pintu surga yang paling tinggi. Sekiranya engkau mau, sia-siakanlah pintu itu, atau jagalah! (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, dishohihkan oleh Albani)
Anakku…
Aku mengenalmu sejak dahulu… semenjak engkau telah beranjak dewasa… aku tahu engkau sangat tamak dengan pahala… engkau selalu cerita tentang keuatamaan berjamaah… engkau selalu bercerita terhadapku tentang keutamaan shof pertama dalam sholat berjamaah… engkau selalu mengatakan tentang keutamaan infak, dan bersedekah…
Akan tetapi satu hadits yang telah engkau lupakan… satu keutamaan besar yang telah engkau lalaikan… yaitu bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdulloh bin Mas’ud, ia mengatakan:
سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم، قلت: يا رسول الله أي العمل أفضل؟ قال: الصلاة على ميقاتها. قلت: ثم أيُّ؟ قال: ثم بر الوالدين. قلت: ثم أيُّ؟ قال: الجهاد في سبيل الله. فسكت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولو استزدته لزادني. (متفق عليه)
Aku bertanya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-: Wahai Rosululloh, amal apa yang paling mulia? Beliau menjawab: sholat pada waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian berbakti kepada kedua orang tua. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian jihad di jalan Alloh. Lalu aku pun diam (tidak bertanya) kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- lagi, dan sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya.
Itulah hadits Abdulloh bin Mas’ud…
Wahai anakku…
Inilah aku, ibumu… pahalamu… tanpa engkau harus memerdekakan budak atau banyak-banyak berinfak dan bersedekah… aku inilah pahalamu…
Pernahkah engkau mendengar, seorang suami yang meninggalkan keluarga dan anak-anaknya, berangkat jauh ke negeri seberang, ke negeri entah berantah untuk mencari tambang emas, guna menghidupi keluarganya?! Dia salami satu persatu, dia ciumi isterinya, dia sayangi anaknya, dia mengatakan: Ayah kalian, wahai anak-anakku, akan berangkat ke negeri yang ayah sendiri tidak tahu, ayah akan mencari emas… Rumah kita yang reot ini, jagalah… Ibu kalian yang tua renta ini, jagalah…
Berangkatlah suami tersebut, suami yang berharap pergi jauh, untuk mendapatkan emas, guna membesarkan anak-anaknya, untuk membangun istana mengganti rumah reotnya.
Akan tetapi apa yang terjadi, setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, yang ia bawa hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia gagal dalam usahanya. Pulanglah ia kembali ke kampungnya. Dan sampailah ia ke tempat dusun yang selama ini ia tinggal.
Apa lagi yang terjadi di tempat itu, setibanya di lokasi rumahnya, matanya terbelalak. Ia melihat, tidak lagi gubuk reot yang ditempati oleh anak-anak dan keluarganya. Akan tetapi dia melihat, sebuah perusahaan besar, tambang emas yang besar. Jadi ia mencari emas jauh di negeri orang, kiranya orang mencari emas dekat di tempat ia tinggal.
Itulah perumpaanmu dengan kebaikan, wahai anakku…
Engkau berletih mencari pahala… engkau telah beramal banyak… tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar… di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu masuk surga…
Ibumu adalah orang yang dapat menghalangimu untuk masuk surga, atau mempercepat amalmu masuk surga… Bukankah ridloku adalah keridloan Alloh?! Dan bukankan murkaku adalah kemurkaan Alloh?!
Anakku…
Aku takut, engkaulah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- di dalam haditsnya:
رغم أنفه ثم رغم أنفه ثم رغم أنفه قيل من يا رسول الله قال من أدرك والديه عند الكبر أحدهما أو كليهما ثم لم يدخل الجنة (رواه مسلم)
Celakalah seseorang, celakalah seseorang, dan celakalah seseorang! Ada yang bertanya: Siapakah dia wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Dialah orang yang mendapati orang tuanya saat tua, salah satu darinya atau keduanya, akan tetapi tidak membuat dia masuk surga. (HR. Muslim 2551)
Celakalah seorang anak, jika ia mendapatkan kedua orang tuanya, hidup bersamanya, berteman dengannya, melihat wajahnya, akan tetapi tidak memasukkan dia ke surga.
Anakku…
Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit, aku tidak akan adukan duka ini kepada Alloh, karena jika seandainya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan, yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya…
Aku tidak akan melakukannya wahai anakku… tidak… bagaimana aku akan melakukannya, sedangkan engkau adalah jantung hatiku… bagaimana ibu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit, sedangkan engkau adalah pelipur lara hatiku… bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku…
Bangunlah nak… bangunlah… bangkitlah nak… bangkitlah… uban-uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa, sehingga engkau akan menjadi tua pula.
الجزاء من جنس العمل
Sebagaimana engkau akan berbuat, seperti itu pula orang akan berbuat kepadamu.
الجزاء من جنس العمل
Ganjaran itu sesuai dengan amal yang engkau telah tanamkan. Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam.
Aku tidak ingin engkau menulis surat ini… aku tidak ingin engkau menulis surat yang sama, dengan air matamu kepada anak-anakmu, sebagaimana aku telah menulisnya kepadamu.
Wahai anakmu…
bertakwalah kepada Alloh… takutlah engkau kepada Alloh… berbaktilah kepada ibumu… peganglah kakinya, sesungguhnya surga berada di kakinya… basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya… kencangkan tulang ringkihnya… dan kokohkan badannya yang telah lapuk…
Anakku…
setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu. Apakah engkau sadar dan engkau akan kembali, atau engkau akan merobeknya.
Wa shollallohu ala nabiyyina muhammadin wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Dari Ibumu yang merana.
(Disadur dari kajian Ustadz Armen -rohimahulloh- dan akan disambung dengan jawaban si anak kepada sang ibu)

MENCARI MAKNA HIDUP DAN MENCARI KEBAHAGIAN HIDUP

MAKNA HIDUP  DAN KEBAHAGIAAN

hidup tanpa makna, sehingga hidup terjadi apa adanya. Apakah Anda hanya ingin hidup yang sebentar ini untuk suatu hal yang sia-sia.
Saya contohkan,
Dalam hidupnya Rani bersekolah hingga umur 18 tahun, lalu di melanjutkan kuliah, tetapi ia tak pernah cocok dengan kuliahnya tersebut. Rani menjalaninya dengan terpaksa, setelah lulus Rani menikah dan mempunyai anak, setelah itu dia membesarkan anak dan menjadi ibu rumah tangg. Rani melakukan itu hingga masa tua.
Apakah Anda akan menghabiskan hidup Anda dengan hanya menjadi ibu rumah tangga saja? Hidup ini tidak ada gunanya donk. Tidak berarti apa-apa dan tidak mempunyai kesan. Seorang tukang batu, dia memaknai hidup ini untuk menjadi tukang batu dan bekerja terus sampai tua, seorang direktur, terus bekerja di kantor berkutat dengan kertas-kertas dan dokumen-dokumen dalam pekerjaannya. Apakah Anda tidak bosan? Pasti iya, kenapa? Karena makna hidup sesungguhnya tidak Anda temukan.
Ketika salah dalam memaknai hidup, Anda selamanya akan terjebak dalam ketidak bermaknaan hidup. Hidup ditangan orang materialis, orang tersebut akan memikirkan bagaimana dalam hidupnya selalu dipenuhi oleh materi. Jika hidup ditangan orang hedonis, maka hidup akan diartikan senagai mencari kesenangan, yang penting senang. Begitu juga dengan hidup digenggaman orang malas, otomatis selamanya hidup akan dipenuhi oleh rasa malas untuk melakukan suatu hal sekecil apapun.
Mengapa Tidak Bermakna?
Sebagian besar anak yang menginjak usia remaja seringkali dihinggapi rasa kebingungan. Bingung untuk menentukan kemana harus pergi, dimana harus melangkahkan kaki, apakah yang aku lakukan ini benar, kenapa aku melakukan ini, rasa bosan, putus asa, dan macam-macam.
Seringkali pula melahirkan rasa tidak peduli (apatis), sehingga pada akhirnya hanya melakukan pelarian. Lari dari realitas yang sesungguhnya. Lari dinyatakan sebagai suatu alternatif pemusnahan masalah bagi mereka, padahal sebenarnya lari tidak menyelesaikan masalah, bahkan menambahkan masalah karena masalah akan semakin tertumpuk dan tidak terselesaikan.
Victor Frankl, mengidentifikasi keadaan hidup yang tidak bermakna sebagai gejala penyakit psikologi, bernama frustasi eksistensial. Victor Frankl mengartikan frustasi eksistensial sebagai suatu keadaan penderitaan batin berupa adanya perasaan-perasaan hampa, keadaan “mati” sebelum mati”.
Penderita penyakit ini dapat dikatakan mengalami suatu kematian diri (jiwa) akibat dirasakaannya hidup yang tidak berguna dan tidak bermanfaat. Manusia dapat menjadi seperti mayat yang hidup.
Lalu,mengapa bisa terjadi?
Remaja kebanyakan tidak tahu mengenai penyakit ini, bahkan bagaimana cara menyelesaikannya, karena kurangnya ilmu pengetahuan dan penyebaran informasi yang relatif sedikit. Jika tidak tahu maka cenderung tidak dipedulikan dan dilupakan begitu saja.
Remaja tidak tahu nilai penting sebuah hidup itu. Lalu, lahirlah istilah-istilah bahwa hidup adalah permainan, hidup hanyalah panggung sandiwara. Sehingga, manganggap hidup pada akhirnya tidak penting untuk diperjuangkan.
Emosi yang masih labil, lebih mengutamakan perasaan, dan mengikuti sistem kepercayaan yang turun-temurun. Prestise harga diri pun terlibat. Dari kecil seorang anak sudah didoktrin, bahwa hidup yang enak adalah mempunyai materi, seperti menjadi dokter, insinyur, pilot, astronom, sehingga remaja pada akhirnya cenderung mengarahkan hidupnya disitu.
Imbas dari berkembangnya industrialisasi di negara-negara maju dan berkembang. Efek negatif dari industrialisasi ini akan mengakibatkan watak-watak pragmatisme, materialisme, individualistik dan liberalisme. Bahkan nihilisme yang memandang kehidupan tidak lain dadalah proses pembakaran dan kekosongan (fana).
Mudah saja mengenali orang yang tidak punya makna hidup. Kebanyakan ketika ditanya cita-citanya mereka akan menjawab tidak tahu, atau ditanya apa tujuan hidupmu maka jawabannya juga tidak tahu. Orang yang selalu bingung dan bimbang, linglung, tidak bersemangat dalam hidup, tidak mempunyai spirit dalam hidup atau motivasi untuk hidup.
Dampak Ketidakbermaknaan hidup
Problem-problem tersebut sangat rawan untuk menimbulkan masalah pada remaja. Utamanya masalah yang berkenaan dengan hidup. Hal ini mempengaruhi hidup seorang akan mencapai kesuksesan atau tidak. Maka lahirlah sifat-sifat inferior atau superior yang membuat seorang tidak mengenali potensi dirinya dan mengantarkan pada keterpurukan dan kehancuran hidup.
Seorang yang salah memaknai hidupnya sama dengan seorang yang tersesat di suatu jalan. Dia tidak akan sampai pada jalan yang benar. Dan terus memilih jalan yang salah, jalan yang tidak akan sampai pada tujuan hidup yang sebenarnya.
Bunuh diri, merupakan salah satu efek dari pemahaman makna hidup yang tidak benar. Seorang yang frustasi karena putus cinta misalnya, menganggap bahwa hidupnya tidak akan bermakna tanpa ada pasangannya yang dicintainya itu mendampinginnya. Secara, langsung berarti hidup adalah untuk mendapatkan cinta, Tiada cinta, maka berakhirlah hidup. Putus Asa, hanya ingin mendapatkan jalan pintas atau bahkan tidak tahu cara menyelesaikan permasalahannya itu akhirnya keputusan mengakhiri hidup yang dipilih. Padahal, ketika menyadari bahwa masalah tidak akan berakhir setelah bunuh diri, dan jikalau anda termasuk orang beragama, Anda pasti tahu bahwa ada kehidupan setelah mati.
Penderita penyakit frustasi eksistensial dapat menjadi depresi apabila sudah terjadi berlarut-larut dan tidak ada penanganan yang memadai, sehingga terjadilah komplikasi penyakit, yaitu frustasi dan depresi yang diakibatkan frustasi tersebut.
Sebenarnya masalah ketidakbermaknaan hidup merupakan masalah yang sangat penting, dan dapat merusak generasi masa depan, mereka ini rawan ikut-ikutan dan rawan tersesat. Inilah penyebab utama rusaknya moral remaja, timbulnya banyak kejahatan remaja, narkoba, seks bebas, pacaran, pornografi/pornoaksi, malas belajar, pengangguran merupakan akibat ketidaktahuan bahkan salah memaknai hidup.
Begitu besar dampaknya, masihkah terus-terusan seperti ini, jika masa depan yang dipertaruhkan, suatu saat peradaban akan musnah, dimanakah kepedulian Anda terhadap diri anda sendiri dan remaja yang lain?
Tidakkah Anda ingin sembuh dari penyakit ini. Anda sakit, tetapi Anda tidak mau diobati, maka selamanya Anda akan sakit. Bangga dengan sakit?
Kebahagiaan yang Maksimal
Hidup hakekatnya adalah mencari kebahagiaan. Semua orang pasti ingin bahagia, dan untuk itulah orang melakukan sesuatu hal. Untuk kebahagiaan. Misalkan orang belajar terus-menerus dari pagi sampai malam, dari muda sampai tua tujuannya pasti untuk bisa dapat kebahagiaan, lalu orang yang inginkan kaya berarti dia ingin kebahagiaan dari kekayaannya itu, orang bersusah payah mendapatkan cinta, sampai dibela-belain segala macam, sampai mengorbankan dirinya itu pula untuk mendapatkan kebahagiaan.
Apakah Anda hanya sekedar menginginkan bahagia yang hanya sementara itu, untuk mendapatkan kenahagiaan yang sebentar saja Anda harus berkorban sebegitu lama,
Coba kita hitung. Misalkan hidup kita hanya 25 tahun, sementara Anda ingin mendapatkan kebahagiaan dari studi yang sudah Anda kerjakan selama 23 tahun, berarti Anda hanya 2 tahun menikmati hasil jerih payah Anda (kebahagiaan).
Apakah ini kebahagiaan yang sesungguhnya? Tidak. Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah kebahagiaaan yang maksimal, kebahagiaan yang sepadan dengan hasil kerja keras kita.
Lalu apa hubungannya dengan makna hidup? Karena hidup kita hakekatnya ialah mencari kebahagiaan yang maksimal. Maka seharusnya hidup kita arahkan pada perjuangan meraih kebahagiaaan yang maksimal itu, bukan kebahagiaan yang hanya sesaat. Itulah makna hidup. Hidup punya makna dan hidup punya arti yaitu kebahagiaan.
Orang merasa hidup ini bermakna apabila ia dapat mempunyai tujuan hidup yang dianggapnya tertinggi, sehingga hidupnya akan sangat bernilai apabila ia dapat mencapainya. Dan segala upaya yang dapat mendekatkannya kepada tujuan tersebut, akan menciptakan pengalaman bermakna. Kesadaran untuk hidup bermakna muncul melalu pengalaman dan penghayatan hidup. Setiap keberhasilan kita dalam memenuhi tujuan tersebut akan menciptakan kenikmatan dan kebahagiaan, tetapi begitu cepat kenikmatan dan kebahagiaan itu berpisah dari dari kita. Setelah itu kita akan merasakan kesemuan dan rasa berpisah yang dalam apabila itu kebahagiaan yang sesaat dan sementara kita jadikan tujuan hidup, karena itu semua akan kita tinggalkan karena kematian.
Ketika apa yang kita dapatkan belum memberikan kebahagiaan yang maksimal. Berarti kita belum dapat mengoptimalkan hidup untuk menemukan makna hidup yang benar. Kita butuh suatu tujuan hidup yang membuat kita lebih “hidup” lagi, dan berani berkorban apa saja untuk mencapainya.
Jangan sia-siakan hidup sobat, waktu kita hanya sedikit sekali. Mulailah pikirkan dan carilah makna hidup. Jangan jadi orang yang tersesat dan menyesal di kemudiaan hari.